Jumat, 13 Juni 2014 0 komentar

Cinta di 'Ain Jalut

Copyright: Nugroho Iriyanto, Direktur Majalah Oase

Saifuddin Al-Muzhaffar Quthuz, pemimpin Mesir, menerima surat yang dibawa utusan Hulagu Khan:

Dari Raja Timur dan Barat, Khan Agung. 
Untuk Quthuz Mamluk, yang melarikan diri dari pedang kami. 
Kuda-kuda kami cepat, panah kami tajam, pedang kami seperti petir, 
hati kami sekeras gunung, tentara kami banyak seperti pasir. 
Benteng tidak akan mampu menahan kami, lengan anda tidak dapat menghentikan laju kami. 
Doa anda kepada Allah tidak akan berguna untuk melawan kami. 
Kami tidak akan digerakkan oleh air mata atau disentuh oleh ratapan. 
Hanya orang yang mohon perlindungan akan aman. 
Percepat balasan anda sebelum api perang dinyalakan. 
Menolak, anda akan menderita bencana yang paling mengerikan. 
Kami akan menghancurkan masjid anda dan mengungkap kelemahan Tuhanmu. 
Dan kami akan membunuh anak-anak dan orangtua anda bersama-sama.
Saat ini andalah satu-satunya musuh yang mesti kami hadapi.

Surat itu datang tidak lama setelah Hulagu Khan beserta pasukan Mongol
menghancurkan Baghdad hanya dalam waktu 40 hari.
Kekhalifahan Abbasiyah yang telah berumur 500 tahun hancur dalam sekejap.
1,8 juta kaum muslimin Baghdad dibantai dan dibuat gunung tengkorak untuk menjadi peringatan
bagi negeri-negeri yang melawan kekuatan Mongol.

Al-Quthuz bergerak cepat.
Syaikh Al-Izz bin Abdis Salam, seorang ulama senior mengeluarkan fatwa
bahwa seluruh kaum muslimin wajib berkontribusi harta untuk membantu peperangan.
Dengan syarat tidak ada lagi asset yang tersimpan di Baitul Mal.
Semua warga negara memiliki kewajiban yang sama.
Selanjutnya Al-Quthuz menginstruksikan agar semua pejabat dan pimpinan mempelopori
untuk menyerahkan harta untuk peperangan.
Penyerahan harta oleh para pejabat dan pimpinan negara ini
diikuti pula secara serempak oleh seluruh rakyat.

'Ain Jalut menjadi saksi perjuangan para perindu surga.
20.000 tentara muslim dari Mesir dan Syams berhadapan dengan pasukan Tartar
yang terkenal kuat, kejam, dan memiliki reputasi tidak pernah terkalahkan.
Pertempuran dahsyat pun terjadi, Jumat 25 Ramadhan 658 H adalah saat kehancuran pasukan Tartar
di ujung pedang kaum muslim, dan tidak pernah mampu lagi menebus kekalahan mereka.
Al-Quthuz dan pasukannya telah menghentikan petualangan mereka
yang sebelumnya telah menghancurleburkan Baghdad, Syria, dan hampir seluruh Asia Tengah.

Pada peperangan 'Ain Jalut ini Al Quthuz didampingi istrinya, Jullanar,
yang turut serta dalam rombongan pasukannya.
Dalam keadaan terluka parah, Jullanar tetap memberi semangat kepada suaminya,
" Wahai Al Quthuz, lebih cintalah engkau kepada jihad ini."
Lalu istrinya menghembuskan nafas terakhir.
Pesan terakhir sang istri memberikan kesan jiwa yang dahsyat
sehingga Al-Quthuz segera melepaskan topeng besinya,
maju menerjang musuh, hingga mendapatkan kemenangan.

Cinta adalah sumber kekuatan jiwa yang dahsyat. Akan tetapi, 
ketergantungan adalah sumber kelemahan jiwa yang fatal, dan merupakan sumber kehancuran. 
Itulah sebabnya Abu Bakar As-Shiddiq pernah menyuruh anaknya, Abdullah, menceraikan istrinya. 
Itu karena beliau melihat bahwa anaknya terlalu mencintai istrinya, 
dan cintanya berubah menjadi semacam ketergantungan. 
Ketergantungan itu membuatnya takut berpisah dengan istrinya, 
bahkan walau sekadar melakukan shalat jamaah di masjid.
Senin, 02 Juni 2014 0 komentar

My Heart

Mari kita bicara tentang perasaan,
perasaanku, perasaanmu, perasaannya, perasaan kita.

Mari kita bicara tentang cinta, tentang benci,
cintaku benciku, cintamu bencimu, cintanya bencinya, cinta benci kita.

Mari kita bicara tentang luka, tentang dendam,
lukaku dendamku, lukamu dendammu, lukanya dendamnya, luka dendam kita.

Mari kita bicara, ....


" Luka tamparan elo kemaren mungkin besok udah ilang, tapi luka di hatinye kagak bisa ilang.
Biar kate lo udah minta maaf, mungkin di depan dimaafin ama die karena die takut.
Dua orang yang lo tampar kemarin, akan sakit hati selame-lamenye.
Itu yang minta amalan lo di akhirat. Iya kalo amalan lo banyak!
Nih, kandang ayam buat lo.
Jangan cuma ayam aja yang lo kandangin, kandangin juga nafsu lo."

Itu nasehat alm. K.H. Rahmat Abdullah untuk adiknya. Pasti kamu juga sudah tahu, bukan?

Benar bahwa luka di hati tidak akan pernah bisa hilang.
Tapi kenyataan ini bukanlah untuk dijadikan pembenaran bagi diri kita
guna mengingat-ingatnya, menyimpan dendam, kebencian kepada orang lain.
Kalau kita sungguh memahami bahwa luka di hati kita bersifat kekal,
maka semestinya kita menjaga diri untuk tidak lakukan hal serupa.
Kalau kita sungguh memahami bahwa luka di hati bersifat kekal,
bahwa pemberian maaf yang tulus itu nyaris tak mungkin;
semestinya kita mulai menahan diri dengan melupakan luka di hati,
berusaha memberikan maaf bagi orang lain dengan setulus hati,
agar hal serupa tidak terulang pada diri kita.
Bukankah kita juga ingin dimaafkan ketika kita berbuat salah?

Mari kita bicara kepada hati, sungguhkah ia sudah mengerti?
Tentang luka yang abadi, tentang maaf yang sering tak setulus hati.
Lalu memulai saling bicara dari hati ke hati.

Maafkan aku yang tak bisa selalu memahami hatimu.

Forbes Entrepreneurs

 
;